• Default Language
  • Arabic
  • Basque
  • Bengali
  • Bulgaria
  • Catalan
  • Croatian
  • Czech
  • Chinese
  • Danish
  • Dutch
  • English (UK)
  • English (US)
  • Estonian
  • Filipino
  • Finnish
  • French
  • German
  • Greek
  • Hindi
  • Hungarian
  • Icelandic
  • Indonesian
  • Italian
  • Japanese
  • Kannada
  • Korean
  • Latvian
  • Lithuanian
  • Malay
  • Norwegian
  • Polish
  • Portugal
  • Romanian
  • Russian
  • Serbian
  • Taiwan
  • Slovak
  • Slovenian
  • liish
  • Swahili
  • Swedish
  • Tamil
  • Thailand
  • Ukrainian
  • Urdu
  • Vietnamese
  • Welsh
Hari

Your cart

Price
SUBTOTAL:
Rp.0

Negara Berkembang Luapkan Kekesalan pada Negara Maju di COP29

img

Srutub.com Assalamualaikum semoga kalian dalam perlindungan tuhan yang esa. Pada Waktu Ini saya mau menjelaskan manfaat dari Politik Internasional, Perubahan Iklim, Lingkungan yang banyak dicari. Artikel Yang Mengulas Politik Internasional, Perubahan Iklim, Lingkungan Negara Berkembang Luapkan Kekesalan pada Negara Maju di COP29 jangan sampai terlewat.

Kebuntuan Negosiasi Iklim di COP29: Negara Maju Dinilai Lepas Tangan

Dua hari menjelang penutupan COP29, bayangan kesepakatan iklim global masih samar. Perundingan yang alot, diwarnai perdebatan sengit seputar target anggaran iklim baru (NCQG) dan aturan pasar karbon dunia, belum menunjukkan tanda-tanda akan mencapai titik temu. Suasana di Baku, Azerbaijan, tempat konferensi berlangsung, diliputi kekecewaan. Kebuntuan ini memperlihatkan jurang lebar antara harapan dan realitas dalam upaya bersama menghadapi krisis iklim.

Seperti drama yang tak kunjung usai, negara-negara berkembang, yang tergabung dalam tiga blok utama – negara berkembang plus Cina, negara Afrika, dan negara paling kurang berkembang – menyuarakan kegelisahan mendalam. Mereka menuding negara-negara maju sengaja menghambat negosiasi dengan tak merespon tuntutan pendanaan iklim. Angka fantastis sebesar 1,3 triliun dolar AS, yang diajukan untuk membiayai proyek-proyek iklim mendesak di negara berkembang, seolah berbenturan dengan dinding tebal ketidakpedulian. Tidak ada tanggapan, tidak ada pergerakan, hanya keheningan yang memekakkan telinga.

Ali Mohammed, diplomat iklim Kenya yang mewakili blok negara Afrika, tak bisa menyembunyikan rasa frustrasinya. “Konfirmasi soal jumlah angka tidak ada. Tanggapan apa kek, pergerakan apa pun juga tidak ada. Benar-benar bikin frustrasi dan mengecewakan,” kecamnya. Kekecewaan ini beralasan. Negara-negara berkembang, yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, justru minim dukungan dari negara-negara maju yang secara historis bertanggung jawab atas emisi karbon terbesar.

Keheningan yang Mencurigakan

Keheningan negara-negara maju menimbulkan kecurigaan. Diego Pacheco, negosiator Bolivia yang menjadi juru bicara blok negara paling kurang berkembang, mengungkapkan kekhawatirannya. “(Meski prosesnya lambat) jangan sampai kita biarkan situasi ini dipakai sebagai cara negara maju untuk lepas tangan dari tanggung jawabnya,” tukasnya. Pernyataan ini menggarisbawahi ketidakpercayaan yang mengakar di antara negara-negara berkembang terhadap komitmen negara maju dalam mengatasi perubahan iklim.

Bagi negara berkembang, penyediaan anggaran iklim bukanlah sekadar bantuan, melainkan kewajiban moral negara-negara maju. Tanggung jawab ini muncul karena negara maju, sebagai emiter terbesar, dianggap sebagai penyebab utama perubahan iklim yang kini mengancam keberlanjutan planet ini. Oleh karena itu, keengganan mereka untuk menyediakan pendanaan yang memadai dianggap sebagai bentuk pengingkaran tanggung jawab.

Alasan yang dikemukakan negara maju atas keberatan mereka pun tak luput dari sorotan. Mereka mempertanyakan kelayakan beberapa proyek, seperti proyek energi surya, untuk mendapatkan bantuan hibah. Proyek-proyek tersebut, menurut mereka, sudah memenuhi kriteria industri dan bisnis, sehingga lebih tepat dibiayai melalui pinjaman komersial. Namun, bagi negara berkembang, pinjaman komersial dengan bunga normal justru akan menambah beban utang yang sudah menggunung.

Jerat Utang vs. Kebutuhan Mendesak

Syeda Rizwana Hasan, Kepala Delegasi Bangladesh, menyuarakan dilema yang dihadapi negara-negara berkembang. “Kami ingin menghindari utang dikategorikan sebagai dana iklim. Tuntutan kita adalah bantuan yang tidak memberatkan ketahanan fiskal negara anggota. Tidak memberi beban bunga dan cicilan. Bangladesh jelas tidak akan mampu kalau harus demikian,” katanya. Pernyataan ini menggambarkan betapa sulitnya bagi negara berkembang untuk menyeimbangkan antara kebutuhan mendesak untuk mengatasi perubahan iklim dan keterbatasan fiskal yang membelenggu.

Di tengah kebuntuan yang mencekam, secercah harapan masih tersisa. Rizwana Hasan meyakinkan bahwa masih terlalu dini untuk memvonis negosiasi sebagai kegagalan. Kedua pihak, negara maju dan berkembang, sedang berupaya keras untuk memperkecil jurang perbedaan. Namun, waktu terus berjalan, dan penutupan COP29 yang dijadwalkan pada Jumat (22/11) semakin dekat. Apakah mereka akan berhasil mencapai kesepakatan? Atau akankah konferensi ini berakhir dengan kekecewaan yang mendalam? Hanya waktu yang akan menjawab.

Harapan di Tengah Kebuntuan: Mencari Titik Temu di COP29

Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP29) di Baku, Azerbaijan, memasuki babak akhir dengan suasana yang penuh ketidakpastian. Perdebatan alot seputar pendanaan iklim dan aturan pasar karbon dunia masih menjadi batu sandungan utama. Negara-negara berkembang menuntut keadilan iklim, sementara negara maju masih enggan berkomitmen penuh. Namun, di tengah kebuntuan ini, harapan untuk mencapai kesepakatan belum sepenuhnya padam. Para negosiator dari berbagai negara terus bekerja keras untuk menjembatani perbedaan dan mencari titik temu yang dapat diterima semua pihak.

Salah satu isu krusial yang menjadi fokus perdebatan adalah target anggaran iklim baru (NCQG). Negara-negara berkembang menuntut komitmen pendanaan yang lebih besar dari negara maju untuk membantu mereka beradaptasi dengan dampak perubahan iklim dan beralih ke energi bersih. Mereka menekankan bahwa negara maju memiliki tanggung jawab historis atas krisis iklim dan harus memberikan dukungan finansial yang memadai kepada negara-negara yang paling rentan.

Selain itu, aturan pasar karbon dunia juga menjadi perdebatan sengit. Pasar karbon merupakan mekanisme yang memungkinkan negara-negara dan perusahaan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cara membeli dan menjual kredit karbon. Namun, terdapat perbedaan pandangan mengenai bagaimana pasar karbon ini seharusnya diatur dan bagaimana memastikan bahwa mekanisme ini benar-benar efektif dalam mengurangi emisi global.

Meskipun negosiasi berjalan alot, masih ada harapan bahwa COP29 dapat menghasilkan kesepakatan yang berarti. Para negosiator menyadari urgensi untuk bertindak cepat dalam menghadapi krisis iklim yang semakin parah. Mereka juga menyadari bahwa kerja sama global merupakan kunci untuk mencapai solusi yang efektif dan berkelanjutan. Oleh karena itu, meskipun terdapat perbedaan pendapat, semangat untuk mencari solusi bersama masih tetap hidup.

Keberhasilan COP29 akan sangat bergantung pada kemampuan para negosiator untuk mengatasi perbedaan dan membangun konsensus. Kompromi dan fleksibilitas dari semua pihak sangat diperlukan untuk mencapai kesepakatan yang adil dan ambisius. Dunia menantikan hasil dari konferensi penting ini, dengan harapan bahwa COP29 dapat menjadi tonggak penting dalam upaya global untuk mengatasi krisis iklim.

Demikian penjelasan menyeluruh tentang negara berkembang luapkan kekesalan pada negara maju di cop29 dalam politik internasional, perubahan iklim, lingkungan yang saya berikan Mudah-mudahan tulisan ini membuka cakrawala berpikir Anda selalu bersyukur atas pencapaian dan jaga kesehatan paru-paru. Ayo sebar kebaikan dengan membagikan ini kepada orang lain. lihat juga konten lainnya. Sampai berjumpa.

© Copyright 2024 - SRUTUB
Added Successfully

Type above and press Enter to search.