• Default Language
  • Arabic
  • Basque
  • Bengali
  • Bulgaria
  • Catalan
  • Croatian
  • Czech
  • Chinese
  • Danish
  • Dutch
  • English (UK)
  • English (US)
  • Estonian
  • Filipino
  • Finnish
  • French
  • German
  • Greek
  • Hindi
  • Hungarian
  • Icelandic
  • Indonesian
  • Italian
  • Japanese
  • Kannada
  • Korean
  • Latvian
  • Lithuanian
  • Malay
  • Norwegian
  • Polish
  • Portugal
  • Romanian
  • Russian
  • Serbian
  • Taiwan
  • Slovak
  • Slovenian
  • liish
  • Swahili
  • Swedish
  • Tamil
  • Thailand
  • Ukrainian
  • Urdu
  • Vietnamese
  • Welsh
Hari

Your cart

Price
SUBTOTAL:
Rp.0

Riset: Sebagian Besar Influencer Tak Verifikasi Fakta Sebelum Posting

img

Srutub.com Selamat beraktivitas dan semoga sukses selalu. Di Sini saya akan mengulas berbagai hal menarik tentang Media Sosial, Influencer Marketing, Jurnalisme. Informasi Terbaru Tentang Media Sosial, Influencer Marketing, Jurnalisme Riset Sebagian Besar Influencer Tak Verifikasi Fakta Sebelum Posting Tetap ikuti artikel ini sampai bagian terakhir.

Influencer dan Tanggung Jawab Informasi di Era Digital

Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi wadah utama bagi banyak orang untuk mendapatkan informasi. Platform ini diramaikan oleh para influencer dan kreator konten yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pengikut mereka. Namun, survei terbaru yang digagas UNESCO justru mengungkap fakta yang cukup memprihatinkan: mayoritas influencer tidak memverifikasi fakta sebelum membagikan konten ke media sosial. Bayangkan, enam dari sepuluh influencer, atau sekitar dua pertiga dari 500 responden survei yang berasal dari 45 negara, mengaku tidak memeriksa keakuratan informasi yang mereka posting. Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan besar tentang tanggung jawab mereka dalam menyebarkan informasi di ruang publik.

Mengapa verifikasi fakta begitu penting? Karena informasi yang tidak akurat atau bahkan hoaks dapat menyesatkan publik dan berdampak negatif pada berbagai aspek kehidupan. Misalnya, informasi palsu tentang kesehatan dapat membahayakan nyawa seseorang, sementara berita bohong tentang politik dapat memicu konflik dan perpecahan. Dalam konteks yang lebih luas, penyebaran misinformasi dapat mengikis kepercayaan publik terhadap media dan merusak diskursus umum. Oleh karena itu, setiap individu yang memiliki platform untuk menyebarkan informasi, termasuk para influencer, memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan keakuratan informasi yang mereka bagikan.

Sumber Informasi Influencer: Antara Validitas dan Popularitas

Survei UNESCO juga mengungkap sumber informasi yang umumnya digunakan oleh para influencer. Alih-alih merujuk pada sumber resmi seperti dokumen pemerintahan atau situs web terpercaya, mereka cenderung mengandalkan pengalaman pribadi, penelitian mandiri, atau wawancara dengan individu yang dianggap ahli. Meskipun pengalaman pribadi dan wawancara bisa memberikan wawasan berharga, kredibilitasnya perlu dipertanyakan jika tidak didukung oleh data dan fakta yang valid. Selain itu, beberapa influencer juga menggunakan berita, baik arus utama maupun non-arus utama, sebagai sumber informasi. Namun, yang lebih memprihatinkan, banyak di antara mereka yang menilai kredibilitas informasi berdasarkan popularitas sumber tersebut, seperti jumlah "likes" atau penayangan. Padahal, popularitas tidak selalu menjamin keakuratan informasi.

Lalu, bagaimana influencer seharusnya memverifikasi informasi? Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Pertama, mereka perlu memeriksa sumber informasi. Apakah sumber tersebut kredibel dan terpercaya? Kedua, bandingkan informasi dari beberapa sumber yang berbeda. Apakah informasi tersebut konsisten di berbagai sumber? Ketiga, perhatikan detail informasi. Apakah ada data atau fakta yang mendukung informasi tersebut? Dengan melakukan langkah-langkah verifikasi ini, influencer dapat meminimalisir risiko penyebaran misinformasi dan menjaga kredibilitas mereka di mata publik.

Pemahaman Influencer terhadap Jurnalisme dan Regulasi

Salah satu temuan menarik dari survei ini adalah banyak influencer yang tidak menganggap diri mereka sebagai bagian dari dunia jurnalistik. Mereka melihat aktivitas mereka di media sosial sebagai bentuk ekspresi diri dan berbagi pengalaman, bukan sebagai penyebaran informasi publik. Padahal, dampak konten mereka terhadap audiens sangat signifikan, sehingga menuntut tanggung jawab yang setara dengan jurnalis. Kurangnya pemahaman ini juga berimplikasi pada rendahnya kesadaran influencer terhadap hukum dan regulasi yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi, pencemaran nama baik, dan hak cipta. Hampir setengah dari responden survei hanya memiliki pengetahuan parsial tentang isu-isu hukum ini, dan lebih dari seperempat bahkan tidak mengetahui regulasi yang berlaku di negara mereka. Kondisi ini tentu memprihatinkan, karena ketidaktahuan terhadap hukum bukanlah alasan untuk melanggarnya.

Selain itu, transparansi juga menjadi isu penting yang disoroti dalam survei ini. Hanya separuh influencer yang secara terbuka mengungkapkan sponsor atau sumber pendanaan mereka kepada audiens. Padahal, transparansi merupakan hal yang krusial untuk menjaga kepercayaan publik. Audiens berhak tahu apakah konten yang mereka konsumsi bersifat independen atau dipengaruhi oleh kepentingan tertentu. Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Inggris, aturan bahkan mewajibkan influencer untuk menyatakan jika konten mereka bersifat berbayar. Namun, terlepas dari ada atau tidaknya aturan tersebut, transparansi seharusnya menjadi prinsip dasar yang dipegang teguh oleh setiap influencer.

Upaya Meningkatkan Literasi Media bagi Influencer

Menyadari pentingnya literasi media bagi influencer, UNESCO bekerja sama dengan Knight Center for Journalism in the Americas menawarkan kursus daring gratis bertajuk "how to be a trusted voice online". Kursus ini mencakup modul tentang verifikasi fakta dan pembuatan konten yang relevan dengan isu-isu penting, seperti pemilu atau krisis. Sampai saat ini, ribuan influencer telah mendaftar dan berpartisipasi dalam kursus tersebut. Inisiatif ini merupakan langkah positif dalam upaya meningkatkan kualitas informasi yang beredar di media sosial. Selain itu, platform media sosial juga memiliki peran penting dalam memerangi misinformasi. Mereka dapat mengembangkan algoritma yang lebih efektif untuk mengidentifikasi dan menghapus konten yang menyesatkan. Platform juga dapat memberikan edukasi kepada pengguna tentang cara mengidentifikasi berita palsu dan mendorong mereka untuk melaporkan konten yang mencurigakan.

Pada akhirnya, tanggung jawab untuk memerangi misinformasi berada di tangan kita semua. Sebagai pengguna media sosial, kita perlu lebih kritis dalam mengonsumsi informasi. Jangan mudah percaya dengan informasi yang belum terverifikasi. Periksa sumbernya, bandingkan dengan informasi dari sumber lain, dan gunakan akal sehat untuk menilai keakuratannya. Dengan menjadi konsumen informasi yang cerdas, kita dapat berkontribusi dalam menciptakan ekosistem media sosial yang lebih sehat dan informatif.

Sekian ulasan tentang riset sebagian besar influencer tak verifikasi fakta sebelum posting yang saya sampaikan melalui media sosial, influencer marketing, jurnalisme Silakan eksplorasi topik ini lebih jauh lagi tetap optimis menghadapi perubahan dan jaga kebugaran otot. Ajak teman-temanmu untuk membaca postingan ini. Sampai bertemu lagi

© Copyright 2024 - SRUTUB
Added Successfully

Type above and press Enter to search.